MEDAN, Waspada.co.id – Sejumlah praktisi hukum menggelar Fokus Grup Diskusi (FGD) membahas Rancang Undang-Undang (RUU) KUHAP terkait kewenangan lembaga penegak hukum di Indonesia.
Hal itu dikarenakan terdapat beberapa pasal dalam Rancang Undang-Undang (RUU) KUHAP yang jika dipaksakan akan menimbulkan polemik karena akan terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum.
“Berdasarkan situasi ini, serta menjaga kepastian penegakan hukum kami yang terdiri dari advokat, dosen dan mahasiswa hukum membuat wadah Gabungan Praktisi Peduli Hukum (GPPH) NKRI yang dibangun oleh rasa empati dalam dunia penegakan hukum di Indonesia,” ujar Ketua Panitia FGD Rancang Undang-Undang (RUU) KUHAP, Famati Gulo.
Famati mengungkapkan, hal yang paling berbahaya ketika jaksa mendapat kewenangan sebagai penyidik merangkap penuntut dikhawatirkan terjadinya kewenangan yang berlebih. Sebaiknya polisi difokuskan sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut.
“Kita minta RUU KUHAP dievaluasi agar polisi diperkuat sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut sehingga dapat tercipta keseimbangan,” jelasnya, Jumat (14/2).
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum UMSU, Assoc Prof Faisal, menerangkan carut marutnya penegakan hukum di Indonesia karena tidak ada peradaban hukum. Bahkan, ketika membaca RUU KUHAP nyaris tidak ada spirit peradaban hukum.
“Penegakan hukum kita ini tidak beradab karena tidak punya akhlak dan etika. Karena yang membuat peraturan perundang-undangan sesuka hatinya.”ungkapnya.
Sekretaris Prodi Magister Ilmu Hukum, Mahmud Mulyadi, menambahkan RUU KUHAP harus mempertegas hukum. Sehingga pemungsian kembali asas difresiansi dan saling menghormati dalam satu tujuan penegakan hukum itu penting.
“Intinya Criminal Justice System (CJS) yang integrasi keharmonisan bekerja dalam bingkai lembaga masing-masing tapi ada satu kordinasi dengan visi bersama penegakan hukum. Sebab penegakan hukum mindsetnya tidak hanya menghukum orang, tapi bagaimana mengedepankan hak-hak tersangka dan korban,” bebernya.
“Mindset ke depan tidak lagi pada pola pemidanaan. Pemikiran kita jangan sampai orientasinya ke pemidanaan sehingga mengurangi over kapasitas,” tegas Mahmud.
Salah seorang peserta FGD, Andronikus Bidaya, juga menanyakan apa dampak positif dan negatif jika Jaksa menjadi penyidik pidana umum?. Menjawab pertanyaan itu, Mahmud menerangkan sisi negatif dapat memberikan jaksa kewenangan yang penuh atas suatu perkara dan akan rentan penyalahgunaan wewenang.
“Seharusnya polisi diperkuat sebagai pelaksana penyidikan dan jaksa fokus untuk penuntutan. Kita tidak setuju jika jaksa diberi perluasan kewenangan mengambil alih penyidikan,” sebutnya.
Hadir sebagai pembicara dalam FGD itu Dosen Hukum Tata Negara USU Mirza Nasution dan Wakil Dekan Fakultas Hukum UISU Panca Sarjana Putra. (wol/lvz)
Editor AGUS UTAMA
Discussion about this post