MEDAN, Waspada.co.id – Untuk menekan angka prilaku korupsi dari oknum-oknum di badan ataupun lembaga-lembaga Negara, para pelakunya harus dijatuhi hukuman yang berat dan dapat menimbulkan efek jera.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Negeri, yang menangani kasus-kasus korupsi, harus mengajukan tuntutan maksimum kepada para koruptor.
Demikian disampaikan Praktisi Hukum Kamaluddin Pane SH MH, di Medan, Senin (3/6). Dia mengatakan, dalam pemerintahan hasil Pemilu 2024 mendatang, harus ada perubahan yang radikal pada pola penuntutan yang dilakukan oleh JPU KPK RI atau lembaga penegak hukum lainnya.
“Perubahan pola itu, dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku dengan menggunakan instrumen hukum yang tersedia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Kamaluddin.
Menurutnya, selama ini ada banyak variabel yang menyebabkan sulitnya menurunkan angka perilaku korupsi di Indonesia, diantaranya sistem penggunaan pengadaan barang jasa yang masih manual, celah sistem yang memungkinkan mudahnya melakukan korupsi, serta penyitaan aset hasil korupsi yang belum terakomodasi secara sempurna dalam Undang-Undang.
Selain itu, lanjut Kamal, mental yang ingin kaya secara mudah, termasuk juga pola penuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) termasuk Jaksa KPK RI yang menurut saya cenderung lunak pada pelaku korupsi.
Kamal menerangkan, tuntutan untuk pelanggaran pada Pasal 12 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi misalnya, sudah ada batasan minimum 4 tahun dan maksimum 20 tahun penjara. Tuntutan JPU umumnya dianggap lunak dan tidak menimbulkan efek jera dan ketakutan karena penuntutannya di angka minimum.
“Hanya menjadi tinggi tuntutannya saat terdakwa mencoba melawan atau tidak mengakui perbuatannya maka jaksa KPK menuntut dengan hukuman yang lebih tinggi. Hemat saya, pola penuntutan ini harus diubah, sekalipun para pelaku korupsi kooperatif atau mengakui perbuatannya dan mengembalikan kerugian keuangan negara, harus dituntut lebih tinggi,” sebutnya.
“Karena pada dasarnya dari aspek hukumannya memungkinkan diberikan hukuman yang lebih tinggi, kan itu pasal sudah mengakomodasi misalnya diberikan sepuluh tahun, atau lima belas tahun, agar ada efek jera. Seseorang akan berpikir ulang melakukan pelanggaran pasal 12 atau pasal lain karena sanksi hukuman yang berat,” sambungnya.
Dengan demikian, Kamal mendorong ke depan di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran, pola penuntutan yang tinggi ini harus dilakukan JPU KPK RI, JPU Kejaksaan Negeri, JPU Kejaksaan Tinggi dan JPU Kejaksaan Agung. Penuntutan perkara bidang Tipikor tidak lagi menuntut dengan tuntutan minimum tetapi harus di angka maksimum yang telah ditentukan oleh pasal-pasal dimaksud.
“Tujuannya adalah efek jera dan pencegahan bagi penyelenggara negara untuk tidak melakukan perbuatan korupsi. Selain penuntutan tinggi oleh JPU, Pemerintah pasca terpilih hasil pemilu ini bersama dengan DPR RI, kedepan harus segera merealisasikan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset menjadi Undang-Undang sebagai upaya menekan tingginya angka korupsi di indonesia,” pungkasnya. (wol/man/d1)
Editor AGUS UTAMA
Discussion about this post