Oleh:
Prof. Dr. Zainal Arifin, MA
Waspada.co.id – Dalam Pengabdian kepada Masyarakat di Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara, yang diadakan pada hari Senin, 22 Juli 2024 di Aula Kantor Bupati Labura, dengan tema “Penguatan Moderasi Beragama untuk Harmonisasi Pembangunan Daerah, Bersama Ulama dan Cendekiawan Muslim Berwawasan Kontemporer di Labura”, penulis sebagai narasumber menyampaikan tiga pesan perbedaan antara moderasi Grand Syekh al-Azhar (GSA) Prof. Dr. Ahmed Tayyeb dengan Majelis Ulama Indonesia.
Pertama, ketika GSA pada tahun 2016 saat kunjungan pertamanya ke Indonesia menyatakan bahwa Syiah bagian dari Islam duduk bersampingan dengan Sunni. Pendapat usang ini (2016) tetap saja moderat yang perlu ditebarkan oleh GSA, dan disampaikan ulang pada tahun 2024. “Mereka yang bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan salat, berpuasa, berzakat, dan berhaji bagi yang mampu tergolong sebagai umat Islam. Mereka yang melaksanakan lima pokok ini maka dia Muslim. Kecuali mereka yang mendustakan,” tegas GSA.
Tim MUI Pusat menerbitkan buku di bulan September 2013 dengan judul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”. Buku ini berisikan tentang kesesatan Syiah dan belum mencabutnya hingga saat ini. Pendapat ekstrem ini juga dianut oleh Ustad Abdus Somad (UAS) dalam bukunya “37 Masalah Populer” (2014). Walau UAS menegaskan di dalam buku ini berisikan ajakan kepada para pembaca untuk melihat pendapat para ulama sebagai solusi utama, hingga lebih memahami perbedaan, menghormati orang lain, mengikis fanatisme buta; tetapi tetap saja pada bab Syiah, UAS menyatakan Syiah itu sesat, tanpa ada melakukan penulisan untuk mengutip pendapat GSA yang menyatakan tidak sesat. Bahkan kesesatan Syiah di mata MUI dan UAS tidak termaafkan. Sementara GSA dengan tegas menyampaikan bahwa mereka adalah salah satu sayap berdampingan dengan sayap Sunni dalam Islam.
Kedua, menurut GSA pada kunjungan ketiga tanggal 8-11 Juli 2024 bahwa boleh mengucapkan salam toleransi dan boleh mengucapkan selamat natal bagi penganut agama Kristen. Alasan moderasi GSA yang disampaikannya di aula UIN Ciputat bahwa di dalam Alquran secara tegas dituliskan bahwa muslim boleh menikah dengan kitabiyah, dan boleh memakan daging halal hasil sembelihan mereka. Ketegasan redaksi Alquran ini menyebabkan muslim boleh mengantar istrinya yang kitabiyah untuk pergi ke gereja dan menunggunya hingga pulang. Di saat natal, dia boleh mengucapkan selamat natal, dan boleh mengucapkan “selamat pagi” sebagai ucapan salam baginya. Ini adalah bagian dari interaksi yang dibolehkan berdasarkan QS al-Maidah (5):5.
Pendapat moderat ini berbanding terbalik dengan pendapat ekstrem MUI tahun 2024. MUI berpendapat bahwa mengucapkan salam toleransi adalah bagian dari pelanggaran akidah yang dilarang dan diharamkan. Pelakunya menjadi musyrik dan kafir, karena mengakui kelahiran Isa anak Tuhan. Atau mengakui keberadaan agama lain sebagai agama yang benar selain Islam. Padahal Alquran dengan jelas mengatakan dalam QS Ali Imran (3): 19 “Agama yang terima di sisi Allah hanyalah Islam.”
Ketiga, bunga bank bukan riba yang diharamkan. Pendapat ini diakui oleh GSA, Ahmed Tayyeb, Syekh al-Azhar M. Sayyid Thantawi, Syekh Muhmud Saltut, diikuti oleh Syekh Ali Jumah, Dr. M. Salam Madkur, Dr. Nashr Farid Wasil dll. Pendapat mereka sangat jelas, bahwa bunga bank berjalan atas dasar kesepakatan atau akad yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Ia tidak terkait dengan riba yang diharamkan, di mana bunga ditetapkan akibat gagal bayar dari pihak peminjam, atau dilakukan dengan melipat gandakan dana modal. Ringkas pendapat ulama Azhar, bahwa bagi warga muslim boleh menyimpan uang di bank konvensional dan mengambil bunganya serta menggunakannya. Penetapan persen bunga di depan adalah hal yang boleh. Pendapat ini selanjutnya menegaskan bahwa muslim boleh kerja di Bank Konvensional, karena transaksi di dalamnya bukan riba yang diharamkan.
Pendapat para ulama Azhar dan syekhnya ini bertentangan dengan pendapat Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI No. 32 tahun 2004 yang menetapkan bahwa bunga bank konvensional adalah riba yang dilarang oleh Alquran, dan hukum transaksi dengannya adalah haram. Tidak boleh melakukan transaksi di Bank konvensional jika sudah ada bank syariah, dan jika melakukan transaksi dengannya maka hukumnya haram. Konsekuensi logis, pekerja muslim yang bekerja di bank konvensional telah melakukan tindakan haram. Karena hadis siapa pun yang terkait dengan riba: pemakan, pembawa, penulis, dan kedua saksinya adalah pelaku riba yang dilaknat Nabi Muhammad. (HR Muslim dari Jabir)
Inilah tiga pendapat al-Azhar dan ulamanya yang sangat moderat, berbanding terbalik dengan MUI yang ekstrem dan ketat. Menurut penulis yang didampingi oleh Dr. Fakhurrozai, sekjur KPI S3, pendapat-pendapat ulama Azhar ini muncul dan terjadi karena kedalaman ilmu yang mereka miliki dan tekuni. Al-Azhar membangun pendapatnya di atas realita yang ada. Pertama, dalam masalah Syiah, jika Syiah dinyatakan sesat dan bukan Islam, maka mereka tidak boleh memijakkan kaki ke Mekah, kota suci umat Islam. Realitanya, mereka dibolehkan, karena mereka adalah muslim yang tidak sesat. Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Internasional dilakukan di Iran. Jika Alqurannya berbeda, maka tidak mungkin dilakukan MTQ di sana yang dihadiri oleh berbagai negara sunni, seperti Indonesia.
Kedua, toleransi beragama dan hidup harmoni lebih terlihat jelas dalam pendapat al-Azhar dibandingkan pendapat MUI. Al-Azhar melihat mengucapkan salam kepada bukan Islam tidak merusak akidah, karena ini bagian dari interaksi sosial. Menyeret salam kepada masalah akidah yang dilakukan oleh MUI bagian dari pendapat yang tidak melihat realita sosial untuk hidup harmoni. Di sisi lain berseberangan dengan semangat al-Maidah (5): 5. Realitanya, bagaimana pemimpin muslim mengucapkan selamat natal kepada rakyatnya yang Kristen? Apakah otomatis pemimpin itu menjadi kafir!?
Ketiga, dalam masalah bunga bank haram, bagaimana jika seluruh pegawai bank muslim keluar dari seluruh bank konvensional yang haram di dunia ini? Akan ada jutaan muslim yang menjadi pengangguran.
Uniknya, sebagai kesimpulan dari PkM yang dihadiri pihak Bupati Labura dan MUI Labura ini adalah, bahwa moderasi yang dibawa oleh GSA itu berdasarkan pada asas Alquran, Hadis dan realita yang ada. Kenapa unik, dengan dasar Alquran dan Hadis yang kuat malah menimbulkan pendapat yang terkesan berseberangan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Moderasi al-Azhar berseberangan dengan pendapat ekstremis yang dilontarkan oleh MUI. Kenapa bisa? Boleh jadi, berbeda di wawasan dan banyak berjalan.
*Ka Prodi S3 KPI FDK UIN Sumut
Discussion about this post