Prof. Dr. Zainal Arifin, Lc, MA
Pendahuluan
Waspada.co.id – Perdebatan di kalangan ulama tentang nisbah bagi hasil bank syariah adalah syari, sebaliknya bunga bank konvensional itu haram masih terus terdengar dan dikaji. Pekerja muslim yang potensial di dunia perbankan masih ada sedikit keraguan untuk mengisi kursi kerja di bank konvensional. Bahkan ditemukan karyawan yang keluar dari bank konvensional karena berpendapat bahwa bunga bank adalah haram. Namun, pernyataan bunga bank konvensional itu halal oleh ijtihad Syekh Sayyid Tantawi, Grand Syekh Azhar (GSA) memberi angin segar bagi umat Islam, dan dia mengatakan bahwa implementasi bank konvensional menyerupai bank syariah, kecuali pada takdim dan takhir saja.
Isu usang ini tetap terus dikaji terlebih bank konvensional masih mendominasi pasar perbankan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kantor cabang yang lebih banyak tersebar di seluruh wilayah, serta total aset yang lebih besar. Bank syariah, meskipun terus tumbuh, masih memiliki pangsa pasar yang lebih kecil. Bertambah menarik, karena lulusan sarjana ekonomi muslim itu terus bertambah dan ruang kosong itu harus diisi agar tidak bertambah jumlah pengangguran intelektual.
Persamaan Keduanya
1. Konsep Dasar. (a) Prinsip Dasar. Bank konvensional didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi konvensional yang tidak berseberangan dengan Islam, sedangkan bank syariah berakar pada prinsip-prinsip Islam. Keduanya menghindari diri dari riba, karena bunga bukan riba. Keduanya menjauh dari transaksi judi, pencucian uang yang dilarang negara dan agama. Baik bank konvensional maupun syariah beroperasi di bawah kerangka regulasi yang ditetapkan oleh negara. Regulasi ini bertujuan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan melindungi nasabah. (b) Memberikan keuntungan. Bank konvensional dan syariah sama-sama memberi keuntungan dari penghasilan kepada nasabah. Bedanya, bank konvensional menggunakan sistem bunga, sedangkan bank syariah menggunakan prinsip bagi hasil. Yang keduanya halal, karena bukan riba.
(c) Kesamaan Tujuan Utama. Baik bank konvensional maupun syariah adalah lembaga bisnis yang didirikan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Ini adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Tujuan profitabilitas ini sejalan dengan prinsip-prinsip etika dan peraturan yang berlaku. Di samping, memberikan layanan keuangan kepada masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan memenuhi tanggung jawab sosial. Bank bukanlah lembaga sosial kemasyarakatan atau LSM yang non profit.
Menurut GSA Tantawi, suku bunga bank yang ditetapkan di depan (takdim) lebih menjamin, dari pada bagi hasil syariat yang ditetapkan di belakang hari (takhir). Ia tidak riba, jika dilihat dari sudut investasi (GSA Ahmad Tayyib). Terlebih ikhtiar bank dalam bentuk: inflasi keuangan, biaya pengembangan teknologi, biaya penyediaan sarana layanan, dan biaya SDM. Yang terakhir ini juga dilakukan oleh bank Syariah. Selain itu dalam pinjaman atau kredit konvensional masih terbuka ruang untuk restrukturisasi, jika kreditnya bermasalah. Aset peminjam tidak langsung dilelang sebagaimana pikiran banyak orang.
2. Implementasi Prinsip. (a) Prinsip dalam Praktik. Kedua sistem keuangan ini mengklaim memiliki prinsip keislaman dan keindonesiaan yang lima. Ia dikenal dengan prinsip Pancasila atau maqasid Alquran. Dalam implementasinya juga menemukan hal yang hampir mirip, jika tidak dapat disebut 100% sama. Misalnya, prinsip keadilan dalam bank syariah lebih ditekankan pada pembagian keuntungan yang seimbang, sedangkan dalam bank konvensional, keadilan sering kali diartikan sebagai kesetaraan kesempatan dalam memperoleh keuntungan. Artinya, penulis melihat prinsip kemanusiaan dan etika dijunjung tinggi oleh kedua sistem ini. Di samping prinsip ketuhanan, moderat dan ilmiah. Lihat tulisan di waspada.co.id sebelumnya. (b) Kontrol dan Pengawasan. Mekanisme kontrol dan pengawasan dalam kedua sistem juga ada. Bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas memastikan semua transaksi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Bank konvensional juga memiliki pengawas keuangan, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia memiliki kewenangan yang lebih luas, mencakup aspek prudensial, pasar modal, dan perlindungan konsumen. (c) Kedua bank ini dibangun atas dasar norma, etika dan peraturan yang secara umum tidak berseberangan dengan nilai-nilai Islam. Biasa dikenal dengan kode etik profesi. Kejahatan perbankan diberantas oleh kedua sistem ini. Karena kedua sistem ini di bawah pengawasan bank negara. Jika di Indonesia, di bawah Bank Indonesia.
3. Isu Ketidakadilan Sosial. (a) Isu Ketimpangan. Apakah sistem bunga bank konvensional sering kali memperburuk ketimpangan sosial, sementara bank syariah tidak? Apakah pihak yang memiliki modal akan semakin kaya, sementara pihak yang berutang akan semakin terbebani. Ternyata kedua sistem perbankan ini melakukan syarat dan ketentuan meminjam yang hampir sama. Jika tidak ada agunan dan jaminan di bank syariah pun akan susah meminjam. Hal ini dilakukan untuk mengelola risiko kredit dan melindungi kepentingan bank. (b) Isu Eksploitasi. Walau tidak selalu benar, terkadang suku bunga pinjaman di bank syariah lebih tinggi dibandingkan di bank konvensional. Tinggi atau rendah suku bunga atau bagi hasil itu tidak lepas dari unsur jenis produk, risiko dan likuiditas. Ini terjadi di kedua bank.
Bagi Hasil dan Pembiayaan di Bank Syariah
1. Tidak ada yang benar-benar “tanpa bunga” dalam perbankan syariah. Apakah Alternatif bank Syariah menawarkan alternatif bank tanpa bunga? Ternyata tidak. Walau namanya bukan bunga atau faidah atau interest, namun nisbah atau bagi hasil berdasarkan muamalah yang dilakukan tetap diberikan. Walaupun istilahnya berbeda (nisbah, bagi hasil), pada dasarnya tetap ada mekanisme pembagian keuntungan yang mirip dengan bunga.
2. Peminjaman dalam perbankan syariah juga melibatkan pembiayaan. Begitu juga saat peminjaman apakah peminjam tidak dikenakan bunga? Ya, benar. Tidak dikenakan yang namanya bunga, tapi tetap dikenakan pembiayaan pinjaman pada masa tertentu, hampir mirip dengan bunga. Meskipun tidak disebut bunga, namun konsep pembiayaan ini memiliki kesamaan dengan bunga dalam konteks waktu dan jumlah yang harus dibayarkan.
3. Murabahah, bukan mudharabah apalagi qard hasn. Dalam praktiknya, akad murabahah memang menjadi instrumen yang paling sering digunakan oleh bank syariah di Indonesia, baik untuk pembiayaan konsumtif maupun produktif. Agar tetap profitabel, bank sering kali menetapkan marjin keuntungan yang cukup tinggi dalam akad murabahah. Hal ini dapat memberatkan nasabah. Penggunaan murabahah untuk pembiayaan konsumtif seringkali bertentangan dengan tujuan awal syariah yang menekankan pada produktivitas dan kesejahteraan umat.
Dari sini Syekh Said Tantawi yang tadinya mengharamkan bunga bank konvensional, menjadi mantap untuk menghalalkannya. Di antara alasannya, produk perbankan syariah sering kali lebih kompleks dibandingkan produk konvensional. Artinya, penetapan suku bunga di awal membuat bank konvensional lebih praktis dibandingkan dengan bank syariah. Aspek praktis (takdim) dari sistem bunga bank konvensional lebih mudah dibandingkan takhir untuk bagi hasil di bank syariah. Fatwa Syekh Sayyid Tantawi dapat menjadi alternatif pilihan yang memudahkan gerak hidup muslim di dunia perbankan.
Kesimpulan
Bank syariah hampir mengadopsi sistem bank konvensional, kecuali di sana sini ada penyesuaian dengan hukum Islam. Penyesuaian ini (faidah dengan nisbah, murabahah bukan mudharabah) pun tidak begitu signifikan. Keduanya melaksanakan prinsip ekonomi Indonesia dan Islam dan mengimplementasikannya dalam tubuh kedua bank ini. Keduanya masih memberi keuntungan dan mengambil keuntungan dari setiap transaksi yang dilakukan. Karena ini usaha profit. Semoga fatwa Tantawi GSA ini memberi solusi atas kebingungan mencari lapangan kerja di dunia perbankan.
Penting untuk diingat bahwa: Perbankan syariah adalah sistem yang terus berkembang. Masih banyak ruang untuk perbaikan dan inovasi (mudharabah bukan hanya murabahah). Pemahaman yang benar tentang prinsip-prinsip perbankan syariah sangat penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
*Ketua Umum OIAA I [Organisasi Internasional Alumni al-Azhar Mesir di Indonesia Sumut]
Discussion about this post