MEDAN, Waspada.co.id – Keadilan merupakan kondisi yang bersifat adil terhadap suatu sifat, perbuatan maupun perlakuan terhadap sesuatu hal. Apalagi, dalam permasalahan hukum.
Dalam hukum sendiri, ada istilah “equality before the law” dalam artian kesamaan di depan hukum. Tidak peduli dia itu siapa, mau orang kaya, miskin, pejabat, kuli, apa pun itu. Semuanya sama rata dimata hukum.
Namun, semua itu ‘omong kosong’ jika dilihat dari kasus pembacokan seorang pedagang mie yang terjadi di Perumahan Rahayu Mas, Jalan Pukat Banting I, Kelurahan Bantan, Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan, pada Agustus 2022 lalu.
Bagaimana tidak, Usop Suripto yang menjadi korban pembacokan, harus menempuh perjalanan yang sangat-sangat panjang, dan usaha yang begitu besar demi mendapatkan sebuah keadilan dan kepastian hukum di negara ini.
Bukan hanya darah dari tubuh yang berusia 46 tahun itu saja yang keluar akibat pembacokan yang dialaminya. Namun, air mata dari tangisan sang istri dan anak-anaknya juga sudah bercucuran untuk mendapatkan sebuah keadilan. Apalagi, akibat dari luka pembacokan ia menghabiskan uang ratusan juta untuk mengobati lukanya.
Bapak dari tiga anak itu menceritakan perjuangannya untuk mendapatkan keadilan dari musibah yang dialaminya hingga akhirnya sampai ke rana pengadilan dengan terdakwa David Nicholas dan William Charles.
Usup mengungkapkan awal mula ketidak adilan yang ia terima itu, berawal dari kasus pembacokan. Saat itu ia melihat beberapa pemuda sedang berkelahi di depan rumahnya. Ia pun datang dan melerai agar perkelahian tersebut tidak menjadi besar.
Tidak menyangka, nasihat dan niat baik pedagang mie itu tidak didengar. Bukan berhenti dan menyudahi perkelahian, terdakwa William malah membacok Usup dengan menggunakan samurai hingga mengalami luka serius. Sementara untuk David menodongnya pakai airsoft gun.
Akibatnya, warga Kecamatan Medan Tembung itu dilarikan ke Rumah Sakit Colombia untuk mendapatkan perawatan dari luka bacokan dibagian tubuhnya dan dirawat di selama delapan hari.
Mirisnya lagi, istri dan anak-anaknya Usup, melihat langsung peristiwa pembacokan tersebut. Meski, jeritan dan tangisan dari sang istri dan anak-anaknya, William tetap membacoknya secara membabi buta dan tidak berhenti. Hingga warga setempat ramai dan berhasil mengamankan para terdakwa.
Bayangkan saja, bagaimana hati seorang istri, melihat di depan mata kepalanya sendiri, pria yang menjadi pasangan hidupnya bersimbah darah.
“Saya melihat langsung di depan mata saya dan anak-anak saya, suami saya dibacokin hingga bersimbah darah dan terkapar,” ucap Yuliana istri Usup saat memberikan kesaksian di persidangan, Selasa (22/3).
Setelah pembacokan, petugas polisi datang dan membawa tiga tersangka, yaitu David, William, dan Vinson. Namun anehnya, Polsek Percut Sei Tuan malah membebaskan Vinson dengan alasan yang tidak jelas. Padahal, Vinson diduga kuat ikut terlibat dalam kasus pembacokan tersebut.
Atas ketidakadilan itu, ia bersama kuasa hukumnya Paul JJ Tambunan melaporkan penyidik Polsek Percut ke Propam Polda Sumut. Namun, laporan itu berjalan landai. Sementara untuk kasus pembacokannya sendiri ditarik ke Polda Sumut.
Meski ditarik ke Polda, kasus tersebut tetap berjalan alot. Pasalnya, lebih dari empat bulan, ia belum mendapatkan kepastian hukum. Karena itu pula, ia membuat surat permohonan bantuan hukum ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, Mabes Polri, dan lain-lain.
Tidak hanya itu, demi mendapatkan keadilan, dirinya juga kerap mendatangi Polda Sumut untuk mempertanyakan laporannya. Seperti kata pepatah “proses tidak akan menghianati hasil”, dan benar, usahanya membuahkan hasil yang baik, Vinson yang dilepaskan oleh penyidik Polsek Percut ditetapkan jadi tersangka dan sekarang masuk ke Daftar Pencarian Orang (DPO).
Sementara untuk penyidik Polsek Percut yang “bermain api” dalam kasus ini dicopot dan diproses oleh Propam Polda Sumut. Sedangkan untuk William dan David sedang diadili di Pengadilan Negeri Medan.
Sedangkan untuk di ranah pengadilan sendiri, berbeda pula penanganannya. Di kepolisian begitu riber dan berliku-liku sedangkan di Kejaksaan mudah dan tidak dipersulit. Terbukti, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pantun Marojahan Simbolon dari Kejaksaan Negeri Medan selama dipersidangan sangat serius untuk membuktikan perbuatan yang dilakukan Terdakwa William dan David.
Alhasil, setelah mendengarkan keterangan saksi korban dan saksi-saksi lain, jaksa menuntut kedua terdakwa dengan hukuman maksimal yaitu 9 tahun penjara dan restitusi Rp300 juta dengan subsider 3 bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 170 ayat 2 ke 2 KUHPidana.
Dalam pertimbangan jaksa, hal yang memberatkan kedua terdakwa tidak mengakui perbuatannya, tidak menyesalinya, tidak ada perdamaian dengan korban, mengakibatkan cacat fisik bagi korban, berbelit-belit memberikan keterangan, dan mengakibatkan kerugian bagi korban sebesar R300 juta lebih untuk biaya perobatan.
Atas tuntutan itu pula, korban melalui penasehat hukumnya mengapresiasi Kejari Medan yang sudah mau memberikan keadilan bagi dirinya.
“Terimakasih untuk Kajari Medan dan jaksa yang sudah menuntut maksimal bagi para terdakwa,” ucapnya.
Setelah mendengarkan tuntutan jaksa, persidangan dilanjutkan dengan agenda pembelaan dari terdakwa maupun penasehat hukummnya. Setalah itu, dilanjutkan dengan pembacaan putusan dari majelis hakim yang diketuai Immanuel Tarigan.
“Kami harap majelis hakim dapat melihat penderitaan dari korban dan menghukum terdakwa dengan seadil-adilnya,” pungkas Paul JJ. (wol/ryan/d2)
Discussion about this post