MEDAN, Waspada.co.id – Jayanti Mandasari atau yang dikenal dengan nama Jayanti Mahendi, seorang wanita berusia 35 tahun asal Kota Medan yang kurang lebih selama 14 tahun menekuni dunia seni henna (inai) yang kini sudah menjadi profesinya.
Ibu dua anak ini memulai karir henna pada akhir masa perkuliahan di Universitas Negeri Medan (Unimed) beberapa tahun silam.
Perempuan yang akrab disapa Jay ini menuturkan, menggambar merupakan passionnya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Sehingga, panggilan hati untuk menjadi seorang “Seniman Henna” sudah mantap dipilih.
“Mempertahankan eksistensi di sepanjang perjalanan 14 tahun berkarir di bidang henna tidak semudah yang dibayangkan. Banyak juga suka dan duka yang saya lewatkan hingga bisa sampai banyak dikenal saat ini. Ilmu marketing yang dulu ketika didapatkan ketika bekerja, sekarang saya terapkan di profesi seniman henna ini. Mulai dari marketing secara konvensional hingga digital marketing,” tuturnya sambil melemparkan senyuman manis.
Lantas saat ini, mulai banyak bermunculan seniman henna yang membuat ia harus lebih kreatif meningkatkan ukiran henna, serta tampil beda agar calon klien bisa memilih kita sebagai henna artis yang disukai konsumen.
“Tak hanya itu, persaingan harga pun menjadi salah satu permasalahan utama dalam dunia usaha henna. Namun, terkait harga dapat ditepis dengan membuktikan hasil ukiran yang rapi, produk henna yang berkualitas serta pelayanan yang disukai konsumen,” katanya.
Selain sebagai senimah henna, Jayanti Mahendi juga mengembangkan kemampuannya di bidang Master Of Ceremony (MC) khususnya pada acara adat Sumatera Barat.
Melihat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan tentu beragam tradisi adatnya. Pernikahan di Indonesia sudah pasti memiliki banyak tradisi, salah satunya yakni Malam Bainai, tradisi menjelang pernikahan yang dilakukan adat Minang, Sumatera Barat.
“Malam Bainai merupakan tradisi adat Minang yang dilakukan sebelum tiba hari pernikahan. Dalam acara ini, terdapat beberapa prosesi-prosesi yang harus dijalani oleh mempelai wanita,” terangnya.
Bahkan, Anak Daro, sebutan untuk pengantin wanita, akan memakai busana adat khusus untuk prosesi Malam Bainai. Busana ini bernama Baju Tokah. Tak hanya itu, Anak Daro akan memakai suntiang, hiasan kepala khas adat Minang. Namun, suntiang yang digunakan pada prosesi ini berbeda dengan yang digunakan pada hari pernikahan.
“Dan hal ini bukan menjadi keuntungan semata, namun profesi tersebut sudah ia lakoni ketika duduk di bangku perkuliahan. Dulu saya kerap didaulat sebagai pembawa acara di beberapa organisasi yang saya ikuti. Maka itu, ketika menjadi MC Malam Bainai langsung saya lakukan,” katanya.
Wanita berdarah asli Minang ini berasal dari Pariaman dengan Ayah bernama Alm H Suhermanto Sikumbang dan ibu Hj Zuliaty Koto. Dengan marga Koto yang didapat dari ibunya sesuai adat minang yang mana marga bersifat Matrilineal atau berdasarkan garis keturunan ibu.
“Kini setelah tiga kali memandu acara adat Malam Bainai, saya ingin memantapkan lagi profesinya sebagai MC Malam Bainai, dengan harapan semoga adat budaya Minangkabau dapat terus dilestarikan dan dijalankan sesuai adat aslinya,” ungkap Jayanti.
Di mana tradisi ini pada awalnya dilakukan sebagai salah satu cara untuk menolak bala bagi pengantin menjelang hari bahagianya. Tradisi ini tak digelar sekadar sebagai simbol pelepasan masa lajang pada mempelai wanita, melainkan sebagai momen berkumpulnya seluruh keluarga untuk memberikan restu dan juga doa.
“Sehingga dua pekerjaan ini saya tekuni dengan baik, karena saya percaya bahwa setiap ada kemauan pasti ada jalan,” tandasnya. (wol/eko/d1)
Discussion about this post