KUTACANE, Waspada.co.id – Pelamar badan ad hoc di Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tenggara (Agara), kini mulai riuh. Penyelenggara Pemilu tersebut dinilai tidak profesional.
Hal itu disampaikan terkait dalam proses perekrutan dan penetapan kelulusan Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang diumumkan sekira pukul 00.00 WIB, Senin (23/1).
Menurut salah satu warga Desa Ranto Dior, Kecamatan Deleng Pohkison, Kardo Pasaribu Bondar, menyebutkan penetapan kelulusan bagi PPS diwarnai dengan isu suap. Nilai tertinggi pada sesi ujian tertulis bukan menjadi tolak ukur.
Ungkapan tersebut, disampaikan melalui sosial media yang diunggahnya pada Selasa (24/1), dikatakannya, penyelenggara pemilu lebih mengutamakan nilai uang.
Dalam unggahan tersebut, dia menyampaikan rasa kecewa yang mendalam. Istrinya sebagai peserta calon PPS yang peraih nilai tertinggi di se-kecamatan dinyatakan tidak lulus.
Berikut isi unggahannya;
“Inilah Aceh Tenggara, nilai tertinggi tidak lulus, malah nilai yang jauh lebih rendah dinyatakan lulus. Ada apa dengan ini. Suatu pertanyaan besar untuk penyelenggara. Nilai tertinggi di Kecamatan Deleng Pohkison adalah nilai istri saya. Ketidak lulusan istri saya karena kami tidak memberi uang sepeserpun, sementara mereka memberikan uang,” tulisnya.
Terpisah, Kasonji Adnan, peserta calon PPS di Desa Lawe Polak, Kecamatan Lawe Sumur, kepada Waspada Online, mengaku bahwa dirinya juga adalah peraih nilai tertinggi di desa tersebut. Tetapi enggan untuk mengikuti sesi ujian tes wawancara. Hal itu dilakukan, guna untuk membuka mata publik.
“Sengaja memang tidak mengikuti sesi tes wawancara. Tujuan saya untuk meninggalkan kesan kepada masyarakat, agar jangan berlomba-lomba dalam kebodohan yang dibangun segelintir orang,” cetusnya.
“Ini adalah pembodohan massal. Peserta calon PPS berburu saling rebut, meski ada dikabarkan dimintai uang jaminan kelulusan tetapi malah saling rebut. Sungguh ironis yang dilakukan,” tambahnya. (wol/sur/pel/d2)
Discussion about this post